Deli Serdang,sinarpagiindonesia.com – Proses mediasi kasus dugaan kekerasan fisik yang menyeret nama Jeril Silaban, anak dari Jondri Silaban, kembali menyingkap wajah buram penegakan hukum di tubuh Polresta Deli Serdang. Alih-alih menjadi ruang penyelesaian yang terbuka dan transparan, mediasi justru berubah menjadi polemik ketika seorang jurnalis dilarang meliput jalannya proses.
Padahal, keterlibatan wartawan diminta langsung oleh pihak keluarga dan kuasa pendamping dari DPP Forum Masyarakat Indonesia (FMI) untuk memastikan prinsip keterbukaan publik tetap terjaga. Namun, yang terjadi sebaliknya: sesampainya di ruang Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), penyidik Brigadir Octa F. menolak kehadiran wartawan, meski sudah dijelaskan bahwa media hadir bukan sekadar meliput, melainkan menjalankan fungsi kontrol sosial demi Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
“Kami resmi sebagai kuasa pendamping Jondri Silaban. Kehadiran wartawan justru untuk memastikan mediasi ini transparan, tapi malah dilarang. Ini jelas mengurangi akuntabilitas proses hukum,” tegas perwakilan DPP-FMI kepada awak media.
Pertanyaan Kunci: Mediasi Tertutup untuk Kepentingan Siapa?
Langkah Polresta Deli Serdang menutup akses jurnalis menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah proses hukum sedang diarahkan untuk keadilan, atau justru untuk melanggengkan praktik tertutup yang rawan penyimpangan?
Dalam prinsip fair trial, keterbukaan informasi merupakan pondasi utama agar publik bisa mengawasi jalannya mediasi maupun penyidikan. Namun dalam kasus ini, hak publik untuk tahu seakan dipangkas sepihak.
Seorang aktivis hukum menilai, pelarangan wartawan sama saja dengan membungkam hak konstitusional masyarakat sebagaimana dijamin dalam UU Pers No. 40/1999 dan UU Keterbukaan Informasi Publik No.14/2008.
“Begitu akses jurnalis ditutup, publik kehilangan mata dan telinga. Inilah pintu masuk praktik sewenang-wenang dalam penanganan perkara,” ujarnya.
Catatan Buram Polresta Deli Serdang
Kasus Jondri Silaban menambah daftar panjang dugaan lemahnya transparansi dan pembatasan kebebasan pers di jajaran Polda Sumut, khususnya Polresta Deli Serdang. Publik semakin ragu apakah institusi ini benar-benar berdiri di atas keadilan, atau justru nyaman dalam budaya birokrasi tertutup.
Ironisnya, hingga berita ini diterbitkan, pihak Polresta Deli Serdang belum memberikan keterangan resmi terkait alasan pelarangan wartawan masuk ruang mediasi. Situasi ini memantik desakan agar Kapolda Sumut turun tangan langsung untuk mengambil alih penanganan perkara.
Tuntutan Publik: Keterbukaan atau Krisis Legitimasi?
Pelanggaran terhadap prinsip keterbukaan tidak bisa lagi dianggap persoalan administratif semata. Bila Polresta Deli Serdang tetap menutup diri, maka kepercayaan publik terhadap penegakan hukum akan semakin runtuh.
Kini sorotan tertuju pada institusi kepolisian:
Apakah Polresta Deli Serdang berani tunduk pada UU Pers dan UU KIP?
Ataukah mereka justru melestarikan pola lama: proses hukum yang elitis, tertutup, dan rentan manipulasi?
Publik menunggu jawaban — dan sejarah akan mencatat, apakah kasus Jeril Silaban menjadi momentum perbaikan, atau sekadar babak baru dari krisis transparansi hukum di Sumatera Utara.
Catatan Redaksi: Kasus ini masih dalam tahap mediasi. Tim awak media akan terus memantau perkembangan, termasuk kemungkinan langkah hukum lanjutan serta sikap resmi Kapolda Sumut Irjen Pol Whisnu Hermawan terhadap dugaan pembatasan kebebasan pers dan keterbukaan informasi publik. (spi/tim)
No comment