Bandar Lampung, www.sinarpagiindonesia.com – Badan Pertanahan Nasional (BPN) merupakan lembaga pemerintah non kementerian di Indonesia yang mempunyai tugas untuk melaksanakan hal dalam bidang pertanahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BPN dahulu dikenal dengan sebutan Kantor Agraria. BPN diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2015
Dalam melaksanakan tugasnya, BPN mengerjakan beberapa fungsi seperti penyusunan dan penetapan kebijakan di bidang pertanahan, perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang survei, pengukuran, serta pemetaan, dan masih banyak lainnya.
Tidak dapat dipungkiri jika di dalam tubuh BPN khususnya yang berada di Kabupaten-kabupaten ada sebagian oknum pegawai atau bahkan justru oknum petinggi lembaga ini di kabupaten-kabupaten yang terkesan lalai, jika tak mau di sebut ceroboh dalam memberikan kepastian hukum terhadap legalitas yang dimohonkan oleh masyarakat terkait kepemilikan tanah dalam hal ini sertifikat.
Ini dapat dibuktikan dengan berapa banyak terjadi tumpang tindih kepemilikan sertifikat terhadap sebidang tanah yang sudah bersertifikat, bahkan ada sudah terbit berpuluh-puluh tahun. Tentu saja hal ini mengherankan dan membingungkan bagi sebagian masyarakat.
Celakanya,… hal memalukan yang membuat preseden buruk lembaga negara ini kembali terjadi di Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung. Pasalnya, Agustio, SmHK., SE salah seorang warga Bandar Lampung yang mendapat warisan beberapa bidang tanah dari orang tuanya berlokasi di Desa Panaragan Jaya, Kecamatan Tulang Bawang Tengah, Kabupaten Tulang Bawang Barat, dikejutkan dengan terpasangnya plang di atas lahan milik keluarganya yang isinya tanah tersebut telah menjadi milik Pemkab Tulang Bawang Barat. Padahal, dia dan keluarganya tidak pernah merasa menjual dan mengalihkan hak kepemilikian tanah tersebut kepada siapapun.
“Saya terkejut saat mendapat laporan dari salah seorang kerabat yang menanyakan apakah lahan tersebut memang sudah dijual, karena ada plang yang terpasang berisi pernyataan bahwa tanah tersebut adalah milik pemkab, kami sekeluarga besar pemilik waris dari tanah tersebut merasa tidak pernah menjual tanah tersebut kepada siapapun dan pihak manapun,” ujarnya.
Masih menurut Agustio, lahan tersebut adalah milik orang tuanya yang didapat dari HANKAM sebagai hibah atau pemberian karena ayahnya yang saat itu bertugas sebagai anggota POLRI ditunjuk menjadi salah seorang pembina pada transmigrasi umum dan anggota ABRI di daerah tersebut pada tahun 1974, lalu sertifikat tanah tersebut terbit empat tahun kemudian yaitu pada tahun 1978.
Dari penelusuran media, tanah tersebut memang bersertifikat Hak milik atas nama, Bapak Midjo dengan nomor: 1972, yang diterbitkan oleh kantor Agraria Kabupaten Lampung Utara karena saat sertifikat tersebut diterbitkan Kabupaten Tulang Bawang dan Tulang Bawang Barat belum terbentuk, tapi karena digitalisasi nomor sertifikatnya berubah menjadi 01972.
“Kami punya data-data yang membuktikan bahwa tanah tersebut adalah milik ayah saya, saat mengkonfirmasi dengan pihak yang mengklaim bahwa sudah membeli tanah tersebut dari orang lain karena ternyata tanah tersebut juga telah terbit sertifikat lain dengan nomor : 2994 yang diterbitkan oleh BPN Kabupaten Tulang Bawang atas nama orang lain,” urai Pimpinan Redaksi Media Faktual Hukum ini seraya menunjukkan dokumen yang dimilikinya.
BPN Tulang Bawang Barat sebagai lembaga negara tempat berlokasi tanah tersebut saat dimintai keterangan berdalih bahwa kantor BPN Kabupaten Tulang Bawang Barat baru terbentuk pada tahun 2019, sementara sertifikat tersebut diterbitkan BPN Tulang Bawang pada tahun 2017, jadi menurut BPN Tubaba itu bukan tanggungjawab mereka, Rabu (7/6/2023) lalu.
Sungguh sangat janggal dan tak lazim, karena bagaimana mungkin lembaga negara sekelas BPN dapat dengan mudahnya menerbitkan sebuah sertifikat tanpa meneliti, mempelajari, dan mencocokkan data yang ada di data base arsip BPN Kabupaten Tulang Bawang dan Kabupaten Tulang Bawang Barat, karena menjadi suatu keharusan di Negara Republik Indonesia bahwa setiap sertifikat tanah memiliki nomor registrasi, dan tercatat di BPN baik dalam bentuk soft serta hard copy, bahkan dalam bentuk manual.
Belajar dari kejadian tersebut, sudah saatnya dilakukan pembenahan guna memperbaiki system dalam tata kelola penerbitan legalitas kepemilikan tanah khususnya terkait dengan penerbitan sebuah sertifikat. Karena akan berdampak sangat komplek dan dapat menimbulkan konfilk serta keresahan warga Negara Republik Indonesia dan lebih parahnya lagi dapat membuat hilangannya kepastian hukum dan kepercayaan masyarakat, jika hal-hal tersebut selalu berulang dan berkali-kali terjadi.
Sangat disayangkan lembaga negara seperti BPN Tulang Bawang melakukan suatu kecerobohan dengan melakukan kesalahan prosedural alias mal administrasi dengan terbitnya dua sertifikat pada satu bidang tanah yang sama alias ganda atau tumpang tindih sertifikat.
Data-data penting suatu lembaga pemerintah tidak akan hilang atau dianggap tidak ada hanya karena terjadi pemekaran wilayah, dan suatu kepastian hukum yang telah disahkan Negara Republik Indonesia tidak akan serta merta hilang atau berkurang kekuatan hukumnya hanya karena berdirinya kabupaten baru.
“Kami sekeluarga akan berupaya menempuh lajur sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia, kami berharap pihak-pihak terkait dapat menyelesaikan permasalahan tersebut, karena sebagai warga negara dimana kami harus meminta keadilan dan mempertanyakan tentang keabsahan legalitas kepastian hukum yang sudah negara berikat kepada masyarakat, jika justru lembaga tersebut melakukan hal-hal yang bertentangan dengan aturan perundang-undangan dan mencederai rasa keadilan masyarakat,” pungkas Agustio yang juga Kepala Bidang OKK dan Verifikasi Dewan Pimpinan Daerah Serikat Pers Republik Indonesia (DPD-SPRI) Provinsi Lampung. (spi/team)
No comment