Jakarta, www.sinarpagiindonesia.com – Desakan dari berbagai pihak terhadap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI untuk segera melakukan pengesahan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset terus bergulir dari hari ke hari, bulan ke bulan bahkan tahun ke tahun namun entah mengapa Pihak Legislatif ini tak kunjung mau mengesahkan RUU yang begitu penting.
Baru baru ini DPR RI telah menyetujui 176 Rancangan Undang-Undang (RUU) untuk dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (Proglegnas) jangka menengah 2025-2029, serta menetapkan 41 RUU sebagai Prioritas Prolegnas tahun 2025. Namun RUU Perampasan Aset yang didesak banyak pihak untuk segera dibahas dan disahkan, hanya masuk dalam daftar Prolegnas jangka menengah alias tidak dimasukkan ke Prioritas Prolegnas Tahun 2025.
Sehingga RUU ini tidak akan dibahas atau disahkan pada tahun 2025 ini. Terkatung-katungnya pembahasan RUU Perampasan Aset sejauh ini memang menimbulkan tanda tanya. Padahal banyak pihak yang mengharapkan agar RUU yang satu ini bisa disahkan segera.
Pertanyaan yang paling mendasar adalah Mengapa pengesahan RUU Perampasan Aset ini penting untuk dilakukan segera? Karena keberadaan RUU Perampasan Aset sangat penting dan genting bagi penegak hukum dalam upaya proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi baik yang berada di dalam negeri terlebih-lebih yang berada di manca negara.
Seberapa besar Urgensi RUU Perampasan Aset ini disahkan danapa poin-poin terpentingnya? Berikut rangkumannya :
1. Menghemat waktu dan biaya penanganan perkara. Sebab, tahapan perampasan aset membutuhkan waktu panjang sejak penyelidikan hingga eksekusi barang rampasan aset hasil tindak pidana. Bila menggunakan instrumen yang terdapat dalam RUU Rampasan Aset Tindak Pidana bakal jauh lebih efisien dari sisi waktu dan biaya.
2. Jangkauan perampasan aset lebih jauh dari peraturanyang berlaku, sehingga dapat meningkatkan potensi asset recovery-nya. Terdapat beberapa kriteria aset yang dapat dirampas, seperti aset yang diperoleh hasil dari tindak pidana, aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau penambahan aset, aset yang merupakan barang temuan, aset sitaan dari tindak pidana, dan aset yang sah untuk mengganti dari tindak pidana.
3. Substitusi aset untuk aset yang tidak dapat disita di mancanegara. Menurut RUU ini, bila terdapat aset hasil tindak pidana di luar negeri yang tidak dapat dirampas, maka dapat diganti aset yang setara nilainya. Dengan begitu, tidak perlu merampas dengan mekanisme yang sulit menggunakan mutual legal asistance (MLA) yang panjang prosesnya.
4. Pengelolaan aset sitaan/ rampasan di satu lembaga bakal lebih efektif dan efisien. Praktik di lapangan, kendati terdapatrumah penyimpanan benda sitaan negara (Rupbasan), namun masing-masing institusi penegakan hukum melakukan pengelolaan barang rampasannya.
5. Menerapkan sistem pembuktian terbalik secara utuh. Melalui mekanisme tersebut termohon harus bisa membuktikan harta yang dihasilkan bukanlah hasil tindak pidana. Dalam Pasal 37 UU 31/1999 sudah mengatur pembuktian terbalik. Sayangnya, terbatas pengaturannya.
Melihat begitu penting dan gentingnya pengesahan RUU Perampasan Aset ini bagi negara khususnya dalam upaya penegakan hukum, maka sudah seharusnya Presiden Prabowo Subianto sebagai Kepala Negara sekaligus sebagai Kepala Pemerintahan mengambil sikap tegas dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU).
Sesuai Pasal Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: ”Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang“.
PERPU adalah peraturan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, dan kedudukannya setara dengan undang-undang, namun kemudian harus mendapat persetujuan DPR agar dapat ditetapkan sebagai undang-undang.
Pasal 22 UUD 45 itu juga memberikan kewenangan kepada Presiden untuk secara subjektif menilai keadaan negara atau halihwal yang terkait dengan negara yang menyebabkan suatu undang-undang tidak dapat dibentuk segera, sedangkan kebutuhan akan pengaturan materiil mengenai hal yang perlu diatur sudah sangat mendesak sehingga Pasal 22 UUD 1945 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU).
Terkait Penetapan PERPU yang dapat dilakukan oleh Presiden juga tertulis dalam Pasal 1 Angka 4 UU Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Peraturan Pembentukan yang berbunyi : Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.
Dari bunyi kedua pasal di atas dapat kita ketahui bahwa syarat Presiden mengeluarkan PERPU adalah dalam hal ihwalKegentingan yang memaksa.
Dalam artikel berjudul Polemik Penolakan PERPU JPSK yang ditulis Yuli Harsono, dikatakan bahwa subjektivitas Presiden dalam menafsirkan “hal ihwal kegentingan yang memaksa” yang menjadi dasar diterbitkannya Perpu, akan dinilai DPR apakah kegentingan yang memaksa itu benar terjadi atau akan terjadi.
Persetujuan DPR ini hendaknya dimaknai memberikan atau tidak memberikan persetujuan (menolak). Jadi, menurut Yuli Harsono, yang menafsirkan suatu kegentingan memaksa itu adalah dari subjektivitas Presiden. Inilah yang menjadi syarat ditetapkannya sebuah PERPU oleh Presiden.
Kedudukan PERPU sebagai norma subjektif juga dinyatakan Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang juga sebagai Ketua MK-MK Jimly Asshiddiqie sebagaimana dikutip Ibnu Sina Chandranegara dalam artikel berjudul: Pengujian PERPU Terkait Sengketa Kewenangan Konstitusional Antar-Lembaga Negara: Kajian Atas Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009:
” Pasal 22 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk secara subjektif menilai keadaan negara atau hal ihwal yang terkait dengan negara yang menyebabkan suatu undang-undang tidak dapat dibentuk segera, sedangkan kebutuhan akan pengaturan materiil mengenai hal yang perlu diatur sudah sangat mendesak sehingga Pasal 22 UUD 1945 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU).
Ukuran objektif penerbitan PERPU baru dirumuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan MK Nomor 138/ PUU-VII/ 2009.
Berdasarkan Putusan MK tersebut, ada tiga syarat sebagai parameter adanya “kegentingan yang memaksa” bagi Presiden untuk menetapkan PERPU, yaitu :
1. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang.
2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai.
3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian.
Adapun alasan urgensi diterbitkannya PERPU Tentang Perampasan Aset ini adalah :
1. Upaya pembahasannya sudah cukup lama yakni sejak awal tahun 2008 (sudah 17 Tahun), namun hingga sekarang tak kunjung disahkan.
2. Usulan dari Pemerintah sudah ditandatangani oleh Presiden era Jokowi pada tahun 2022 yang lalu melalui surat presiden dengan Nomor R-22/Pres/05/2023 yang berisi untuk mendorong DPR RI untuk memprioritaskan pembahasan RUU Perampasan Aset terkait Tindak Pidana (RUU PATP) tersebut, namun sejak saat itu hingga sekarang proses pembahasan RUU tersebut tidak jelas tindak lanjutnya.
3. Tidak di masukkannya dalam Prolegnas tahun 2025, artinya belum ada tanda-tanda akan disahkan DPR RI dalam tahun ini.
4. RUU tersebut seharusnya telah disahkan sejak Indonesia meratifikasi perjanjian internasional dengan diterbitkannya UU No 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption 2003, namun faktanya tak kunjung disahkan.
Ketua Umum Laskar Merah Putih H. Adek Erfil Manurung, SH desak Presiden RI agar mengeluarkan PERPU bila DPR RI tidak kunjung mensahkan RUU Perampasan Aset ujar nya pada awak media ini beberapa waktu lalu,di Sekretariat LMP.(spi/red)
No comment