Berita Opini. Sinarpagiindonesia.com – Berangkat dari penilaian hasil liputan kami sekitar bulan November 2022 lalu, menunjukkan bahwa untuk menjadi wartawan, tak semudah yang dibayangkan. Meliput kejadian, memakai ID card, menulis hasil liputan. Melaporkan dalam bentuk berita. Faktanya, menulis berita tidak seperti dibayangkan. Mengarang, merangkai kata dengan semaunya, asal saja menempatkan kata. Ternyata tidak. Fakta kedua, profesi wartawan tak seindah yang dibayangkan. Lebih banyak direndahkan, dicibir, dan dihina. Dan belakangan fakta yang kedua ini ada sebabnya. Nila setitik rusak susu sebelanga. Ulah oknum negatif profesi dicap buruk. Semua kena getahnya. Fakta ketiga, profesi wartawan itu membuat kita sering mendapat ancaman, kekerasan dan sasaran kemarahan preman. Belum lagi dibenturkan sesama seprofesi yang menjadi dalang, back up di suatu tempat yang dianggap melanggar hukum. Tidak jarang, ada kabar menyebutkan wartawan ada yang masuk penjara. Lalu ada yang mati terbunuh. Ada wartawan yang bisa memberitakan kemudian diberitakan. Akibatnya, ada oknum yang mengkonter berita hingga membuat bingung pembaca. Ada beberapa fakta pula, soal tipologi wartawan. Melihat dari fakta-fakta tersebut, akhirnya ditemukan tipologi dan model wartawan. Berangkat dari bagaimana perusahaan persnya, bagaimana rekrutmen sumberdaya wartawan, bagaimana motivasi, dan bagaimana kesejahteraannya juga membedakan topologi wartawan. Taruhlah, bicara soal standart minimal. Perusahaan berbadan hukum, memiliki aktivitas susunan direksi dan redaksi, tapi menempatkan kriteria sumberdaya wartawan itu lulusan SMA. Bahkan STM dan SMK direkrut ada juga yang dibawah itu. Setelah perusahaan pers jenis ini didirikan, ada terbit ID Card, seragam, dan surat tugas. Namun, rekrutmennya berbeda. Hanya menerapkan target pendapatan. Pemasukan iklan, kerjasama dengan tokoh desa, kabupaten hingga sampai diskominfo. Semua ditawari iklan. Tapi si wartawan tadi tidak memiliki kemampuan menulis.
Yang terjadi adalah nebeng teman. Mereka bergerombol, mengutamakan speaking. Rayuan. Begitu uang di tangan. Giliran pemberitaan, amburadul. Tidak ada kaidah sama sekali. Tipologi lain, kadang menyuruh orang menuliskan laporan. Diunggah di medianya hanya bentuk foto dan laporan cerita. Semua disampaikan tapi tidak ada kemasan. Itulah kategori wartawan pertama.
Kategori wartawan selanjutnya, berbekal ID Card, percaya diri ikut polisi ke sana ke mari, berbekal kamera, lalu setiap harinya hanya melaporkan foto disertai caption. Selanjutnya ada yang bergabung dengan organisasi mana pun, ikut menagih utang, ikut menengahi dan menangani kasus (makelar), ikut mendukung salah satu calon dari partai politik, ikut melaporkan korupsi, ikut mengadukan perselingkuhan dan banyak lagi.
Berita ini telah tayang di BeritaRakyat.co.id, – sertakan Sumber Link Berita dibawah ini: https://www.beritarakyat.co.id/2023/02/tidak-semua-pemilik-kartu-pers-adalah wartawan. html(spi/red)
No comment