Oleh : Dr. Supardi, SH., MH., Als. Rd Mahmud Sirnadirasa ( Kajati Riau).
Pekanbaru, www.sinarpagiindonesia.com – (19 April 2023).
وَال صلََةَ وََال سلََ مَ عَََلَى محَ م دَ وََاٰلِهَِ مََعََ اَلت سْلِيْمَِ وََبِهَِ نََسْتَعِيْ نَ فَِى تََحْصِيْلَِ اَلْعِنَايَةَِ اَلْعَآ مةَِ وََالْهِدَايَةَِ اَلت آ مةَِ، آَمِيْنََ يََا رََ بَ اَلْعَالَمِيْنََ
Bismillâhirrahmânirrahîm, Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Saudaraku yang dirahmati Allah SWT. Setiap manusia dalam hidupnya pasti mengalami saat-saat dimana ia merasakan kelapangan, atau di saat lain merasakan kesempitan. Satu saat terkadang senang, di saat lain datang kesusahan.
Suatu waktu datang penderitaan, dan di waktu yang lain datang kebahagiaan. Sebagai manusia, aneka macam keadaan yang dialaminya tersebut sungguh sangatlah wajar dan manusiawi. Susah lalu senang, menderita sesaat, lalu tidak lama kemudian muncul rasa bahagia.
hingga sebaliknya, dan terus berulang-ulang. Keadaan manusia yang berubah-ubah itu menuntut kesiapan manusia untuk menghadapinya dengan tetap berada pada pengawasan dan ta’abbud kepada Allah SWT. Bergantung dan ta’abbud (menghamba) kepada Allah SWT tidak boleh berubah meski aneka keadaan yang menimpa dirinya berubah-ubah. Allah SWT berfirman:
مَا أَََصَابَكََ مََِنَْ حَََسَنَ ةَ فَََمِنََ اََللَِّٰ وََََۖمَا أَََصَابَكََ مََِنَْ سَََي ئَ ةَ فَََمِنَْ نَََفْسِكََ وََََۚأَرْسَلْنَاكََ لَََِلن اسَِ رَََ سولًَََََۚ
وَكَفَىَٰ بَِاللَِّٰ شََهِيدًا ۞َ
“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi”. (QS. An-Nisã [4]: 79) Allah SWT menggunakan terminologi “Mushîbah” terhadap segala hal yang menimpa dan memunculkan rasa dalam diri manusia.
Ketika manusia berada pada kesenangan dan kelapangan, itu berarti ia berada pada mushîbah hasanah. Lalu ketika ia berada pada kesempitan, kesulitan, penderitaan, kesedihan, dan kemalangan, maka itu berarti ia berada pada mushîbah sayyi’ah.
Dalam hal mushîbah hasanah, barangkali banyak dari kita yang sering justru malah lupa diri bahwa keadaan itu adalah nikmat dan anugerah Allah SWT. Namun kebanyakan dari kita justru hanya menganggap bahwa mushîbah sayyi’ah adalah dari Allah SWT.
Hal itu menyebabkan kita menjadi tidak memasuki suatu area dimana kita memohon ampun atas kesalahan dan dosa, serta tidak bersyukur atas nikmat yang Allah SWT berikan. Temukanlah dahulu sebuah ruang dimana ketika mushîbah sayyi’ah itu terjadi dan kita merasakan penderitaan, maka kita mesti memulai dulu dengan beristighfar (mohon ampunan), baru setelah itu masuk ke dalam sikap sabar dan shalat.
Hal itu jika kita berpegang teguh dan meyakini bahwa “sabar dan shalat” adalah sebagai metodologi untuk mendatangkan pertolongan Allah SWT. Sebagaimana firman Allah SWT:
وَاسْتَعِين وا بَِال صبْرَِ وََال صلََةَِ وَََۚإِن هَا لََكَبِيرَةَ إَِ لَ عََلَى اَلْخَاشِعِينََ ۞ََ
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.” (QS. Al-Baqarah [2]: 45) Pemahaman letterlijk, ayat di atas itu adalah “mintalah pertolongan kepada Allah SWT melalui metodologi sabar dan shalat“. Dan Allah SWT menjelaskan tata-caranya, yakni dengan kekhusyu’an.
Sebab sabar dan shalat di saat kita berada pada keadaan yang sulit adalah sesuatu yang berat. Namun justru sebaliknya, seolah Allah SWT mengajarkan dan memberikan petunjuk bahwa hal itu sebenarnya mudah, yakni dengan metodologi “khusyu’“.
Selain sebagai tanggungjawab kita sebagai manusia, sabar dan shalat adalah dua keadaan yang justru sangat mendorong kita menjadi dekat kepada Allah SWT.
Sabar berasal dari kata “ash-Shabru” yang berujung pada kata “ash-Shabûr” (Maha Sabar) yang merupakan Nama Allah SWT yang baik (al-Asmãu al-Husnã).
Jadi, “batas” sikap sabar adalah ketak-terbatasan. Sikap sabar yang dimunculkan manusia akan berujung pada ketak-terbatasan Sifat Maha Sabar Allah SWT yang terkandung dalam kata “ash-Shabûr”.
Karena itu, sifat sabar yang dimunculkan dan dipegang erat dalam diri manusia justru bersifat aktif (bukan pasif). Bersifat aktif maksudnya adalah jiwanya “bergerak aktif” menuju dan mendekat kepada Sang Maha Sabar, yakni Allah SWT.
Jika seseorang ditanya, dimanakah batas kesabaran manusia? Jawabnya, “batas” kesabaran manusia berada pada ketak-terbatasan Sang Maha Sabar (Allah SWT). Allah SWT berfirman:
يَا أََيُّهَا اَل ذِينََ آَمَن وا اَسْتَعِين وا بَِال صبْرَِ وََال صَلََةَِ إَََِۚ نَ اَللََّٰ مََعََ اَل صابِرِينََ۞ََ
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”. (QS. Al-Baqarah [2]: 153) Kemudian dalam kata shalat, Allah SWT menjelaskan sebuah literatur cara untuk mendekati dan sampai kepada-Nya. Kata dasar “Shalat” dalam bahasa Arab berasal dari kata kerja (fi’lun) “shallã – yushallî”, yang artinya menyambungkan atau menghubungkan. Allah SWT berfirman:
إِ نَ اَللََّٰ وََمَلََئِكَتَهَ يَ صَلُّونََ عََلَى اَلن بِ يَِ يَََۚا أََيُّهَا اَل ذِينََ آَمَن وا صََلُّوا عََلَيْهَِ وََسَلِ موا تََسْلِيمًا ۞َ
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya.” (QS. Al-Ahzãb [33]: 56) Dalam ayat tersebut disebutkan kata “yushallûna” yang berarti “shalat”. Ia berkedudukan sebagai kata kerja dengan dhamir jama’ mudzakkar salim, yakni Allah SWT dan para Malaikat-Nya “shalat” (tersambung / terhubung) kepada Nabi SAW. Lalu Allah SWT memerintahkan orang beriman untuk “Shalat” (menyambungkan / menghubungkan dirinya) kepada Nabi SAW.
Jadi, dalam mafhûm al-mukhãlafah (pemahaman terbalik) seolah Allah SWT mengatakan: “… Hai orang-orang yang beriman, sambungkanlah jiwamu kepada Nabi, karena Nabi tersambung (terhubung) kepada-Ku”.
Dengan demikian, sabar dan shalat adalah dua terminologi yang dalam khazanah kejiwaan manusia merupakan sebuah kekuatan Allah SWT yang “disematkan” di dalam diri manusia. Sehingga penderitaan yang dialami manusia, jika dihadapi dengan sabar dan shalat, adalah sebuah “arena” pembentukan jiwa yang kokoh yang bakal “tahan/kebal” dari fluktuasi rasa manusia yang
kadang senang kadang susah, kadang menderita kadang bahagia, kadang sempit kadang lapang. Terminologi sabar dan shalat adalah dua keadaan yang bertujuan untuk mendorong diri kita untuk mendekati Allah SWT.
Karena itu, dua keadaan tersebut harus dimasuki dengan terlebih dahulu membuka pintu kesadaran dengan mengembalikan segala sesuatunya hanya kepada Allah SWT. Bahwa semua kita adalah milik Allah SWT dan akan kembali kepada Allah SWT.
Orang yang bersabar dikategorikan oleh Allah sebagai orang yang lulus ujian. Kepada mereka Allah SWT akan memberikan kabar gembira. Sebagaimana janji-Nya:
وَلَنَبْل وَن كمَْ بََِشَيْ ءَ مََِنََ اََلْخَوْفَِ وَََالْ جوعَِ وَََنَقْ صَ مََِنََ اََلَْْمْوَالَِ وَََالَْْنْف سَِ وَََالث مَرَاتَِ وََََۗبَ شرَََِ
ال صابِرِينََ ۞ََ
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar”. (QS. Al-Baqarah [2]: 155) Lalu Allah SWT memberikan kualifikasi orang yang lulus ujian itu dengan kalimat:
ال ذِينََ إَِذَا أََصَابَتْ همَْ مصِيبَةَ قََال وا إَِن ا للَِّ وََإِن ا إَِلَيْهَِ رَََاجِع ونََ ۞َ
“(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan:
“Innã lillãhi wa innã ilaihi rãji’ûn (Sesungguhnya kami milik Allah, dan sesungguhnya kepada-Nyalah kami semua akan kembali”. (QS. Al-Baqarah [2]: 156) Itulah kabar gembira yang Allah maksudkan untuk diberitakan kepada orang-orang yang lulus ujian atau lulus fit and proper test untuk dikualifikasikan sebagai orang-orang yang sabar.
Orang-orang yang berkualifikasi sabar adalah orang-orang yang sangat dekat dengan Allah SWT. Sehingga saking dekatnya, semua doanya akan dikabulkan, kebutuhannya dipenuhi, dosa-dosanya diampuni dan hatinya menjadi kokoh dan diletakkan pada genggaman Allah SWT.
Allah SWT memberikan “lencana” bagi orang-orang yang sabar dengan “lencana keberkatan”. Orang yang diberkati adalah orang selalu dinaungi rahmat Allah SWT.
Jiwanya selalu tersambung dengan Rasulullah SAW, Allah SWT dan para Malaikat-Nya. Dengan begitu, sepanjang jalan hidupnya akan selalu diberikan petunjuk menuju jalan yang lurus.
أ ولَٰئِكََ عََلَيْهِمَْ صََلَوَا تَ مَِنَْ رََب هِمَْ وََرَحْمَةَ وَََۖأ ولَٰئِكََ ه مَ اَلْ مهْتَ دونََ ۞َ
“Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS. Al-Baqarah [2]: 157). Dalam kesempatan lain, Allah SWT menegaskan untuk orang-orang yang sabar dengan imbalan pahala tak terhingga:
إِن مَا يَ وَف ى اَل صابِ رونََ أََجْرَ همَْ بَِغَيْرَِ حَِسَا بَ ۞َ
“Sesungguhnya orang-orang yang bersabar akan dipenuhi pahala mereka tanpa hitungan.” (QS. Az-Zumar [39]: 10) Semoga kita dikategorikan oleh Allah SWT termasuk orang-orang yang berkualifikasi sebagai orang sabar. Ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn. Mari kita tutup artikel ini dengan do’a:
رَب نَا أََفْرِغَْ عََلَيْنَا صََبْرًا وََثَب تَْ أََقْدَامَنَا وََانْ صرْنَا عَََلَى اَلْقَوْمَِ اَلْكَافِرِينََ ۞َ
Rabbanã afrigh ‘alainã shabraw wa tsabbit aqdãmanã wanshurnã ‘alal qaumil kãfirîn “Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami dari (kedzhaliman) orang-orang kafir.” Ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn. Wallãhu A’lamu bish-Shawaãb.
(spi/bmbg/lucky)
No comment